Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Desember 26th, 2008

Jika pohon randu mulai berbunga, dulu kebanyakan orang melihatnya sebagai pertanda hadirnya musim hujan. Demikian juga hadirnya musim kemarau ditandai dengan pecahnya kulit buah pohon randu saat angin akan menerbangkan kapuk yang halus dan lembut ke udara.

Namun, pertanda alam itu saat ini mulai sulit diandalkan. Tiba-tiba saja di tengah masa kemarau, pertengahan Agustus lalu, hujan deras mengguyur Kota Semarang, air menggenang di sudut-sudut kota.

Alam telah berubah. Dulu di banyak tempat dengan mudah ditemukan pohon randu di pinggir jalan menuju pedesaan. Kemurahan alam itu pernah menorehkan nama besar Java Kapok di seantero dunia. Sekarang, di beberapa daerah yang dulu dikenal sebagai pusat tumbuhnya komoditas itu, seperti Pati, Kudus, dan Jepara, pun pohon-pohon randu juga tak semarak dulu. ”Dulu pegunungan Muria penuh ditumbuhi randu,” kata Mustaqim, warga Desa Terban, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Pada masa pemerintahan kolonial, komoditas itu diekspor, menjadi nomor satu di dunia. Tak hanya kapuknya, minyak biji kapuk pun diekspor. Hutan randu pun terjaga. Sebaliknya, saat ini lereng pegunungan di kawasan Pati dan sekitarnya tampak gundul.

Menurun

Dalam data statistik diketahui, dalam tiga tahun terakhir jumlah tanaman di Pati terus menurun. Tentu saja berkurangnya jumlah tanaman itu berpengaruh terhadap jumlah produksi.

Pada tahun 2004, jumlah luasan tanaman kapuk mencapai 17.870 hektar dengan produksi mencapai 8.370,71 ton. Tingkat produktivitasnya mencapai 554 kilogram per hektar. Pada tahun berikutnya jumlah lahan produksi turun 1.386 hektar hingga hanya tersisa 16.484 hektar. Berkurangnya luas lahan berpengaruh juga jumlah produksi tahun 2005 dengan hanya mencapai 8.344,15 ton. Pada tahun 2006 luasan tanam kapuk di Pati kembali turun hingga hanya 16.330 hektar. Penurunan itu juga memengaruhi tingkat produksi yang juga turun sebanyak 119,31 ton.

Menurut Santoso, pengusaha kapuk asal Desa Karaban, Pati, salah satu penyebabnya adalah banyaknya pohon kapuk yang ditebang dan digunakan sebagai bahan bangunan. Berkurangnya pasokan membuat para pengusaha mencampur kapuk mereka dengan kapuk yang didatangkan dari Thailand.

Tidak hanya itu, pabrik minyak klentheng (biji kapuk) di Desa Kauman, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, sudah dua tahun berhenti akibat kelangkaan bahan baku. Semasa jaya dan bahan baku melimpah, pabrik itu bisa mengolah 24 ton biji kapuk per hari. Karena kelangkaan bahan baku, pemilik perusahaan Tio Hien Thwan (THT) pun menutup produksinya sejak dua tahun lalu. Pabrik pun terbengkalai. Bahkan, 10 mesin pengolah menjadi sarang laba-laba. Padahal, pabrik tersebut pada saat masih berproduksi menyerap sedikitnya 30 pekerja.

Semula pabrik yang berdiri tahun 1937 itu memproduksi minyak kacang. Sejak 1971 mereka mulai memproduksi minyak klentheng. Dukungan bahan baku masih bagus karena hampir di seluruh lereng Muria dipenuhi kapuk.

Bahkan, di sepanjang jalan dulu banyak dipenuhi tanaman randu yang menghasilkan kapuk, seperti di Trungkal, Tayu, atau Bangsri. ”Tetapi, kini banyak tanaman yang ditebang untuk dibuat papan perlengkapan pengecoran. Dan kini yang masih bertahan justru pabrik pengolahan kapuk berbentuk industri rumahan, seperti di Desa Karaban,” kata Agus Pramukajaya, yang dulu menangani bagian produksi minyak klentheng di THT.

Agus menuturkan, pasokan bahan baku mulai tersendat sejak lima tahun lalu. Pasokan bahan baku turun akibat produksi kapuk menurun setelah banyak pohon kapuk ditebang. ”Masyarakat memilih menanam ketela pohon. Kalau pohon randu tidak ditebang, itu akan menghambat pertumbuhan ketela karena sinar matahari terhalang. Masyarakat memilih tanam ketela karena lebih bisa cepat dipanen,” kata Agu.

Menurut Agus, pabrik minyak klentheng di THT dulunya bisa mengolah 24 ton klentheng per hari. Yang menjadi minyak hanya 14 persen, sisanya berupa bungkil. Bungkilnya bisa diekspor untuk pakan ternak dan media pembiakan jamur merang. Minyak klentheng diekspor ke Jepang sebagai bahan insektisida dan pelumas mi basah agar tidak mudah apek. Adapun abu klothok dari kulit randu bisa menjadi soda kristal untuk bahan baku sabun. ”Sebetulnya, semua bagian kapuk bisa digunakan. Kalau pasokan biji kapuk masih ada, mesin kami masih bisa mengolah minyak biji kapuk,” kata Agus.

Potensi

Menurut teknisi Perkebunan Percobaan Muktiharjo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati, Sata Yoga (47), meski sebagian besar perkebunan kapuk sudah berkurang, pengembangan plasma nutfah di perkebunan kapuk percobaan tetap dipertahankan dan saat ini sudah memiliki 155 nomor. ”Kami juga sudah melepas lima nomor. Bibit paling tua di sini tahun 1934 yang didatangkan dari Bogor,” kata Sata.

Hanya saja, para pengusaha industri kapuk randu hingga saat ini belum berencana membudidayakan lagi tanaman tersebut. Mereka masih menggantungkan pasokan kapuk dari daerah lain atau bertahan dengan produksi alam yang jumlahnya terus menurun.

Padahal, menurut beberapa pengusaha di Karaban, pasar untuk semua hasil turunan kapuk randu besar. Menurut Santoso, selain pasar dalam negeri, pasar luar negeri, seperti Malaysia, siap menampung komoditas tersebut. Hanya saja, selain keterbatasan sumber bahan baku, keterbatasan dana juga menjadi kendala lainnya. Dibutuhkan dukungan pemerintah untuk pengembangan komoditas kapuk randu dan kelangsungan industri berskala menengah yang mengolah komoditas tersebut.

Menghutankan kembali sebagian wilayah pegunungan yang gundul dengan tanaman randu bukanlah hal yang buruk. Selain mempertahankan bahan baku, reboisasi dengan randu juga mampu mempertahankan wilayah dari ancaman bencana. (jos/las/aci/gal/nel)

kompas, 26 agustus 2008

Read Full Post »

Pati, Kompas – Jejak Java kapok, komoditas lokal yang pernah merajai pasar internasional, masih dapat ditemui di Kebun Percobaan Mukti Harjo dan Ngemplak, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Di kebun ini terdapat pohon kapuk tertua yang ditanam pada tahun 1934.

”Kebun ini dulu bagian dari program pemerintahan Belanda antara 1800-an akhir hingga awal 1900-an, yaitu program economic garden atau introduksi tanaman yang bernilai ekonomis, selajutnya dibagikan kepada penanam atau lembaga yang berminat membudidayakannya,” kata Sata Yoga (47), teknisi Kebun Percobaan Mukti Harjo dan Ngemplak, Kamis (21/8).

Di areal kebun seluas 94 hektar tersebut, selain tanaman kapuk tertua yang didapat dari Lembaga Penelitian Tanaman Industri yang berada di Kebun Raya Bogor, juga terdapat 154 plasma nutfah tanaman kapuk lokal asal Indonesia lainnya, asal Karibia, dan beberapa hasil persilangan.

Di areal ini telah muncul lima varietas bibit unggul baru, yaitu Mukti Harjo (MH) 1,2,3, dan 4 serta Togo. Dengan menanam varietas unggul ini, mampu dihasilkan 2,5 ton kapuk per hektar.

Kejayaan Java kapok

Sata Yoga mengatakan, ke-155 plasma nutfah tanaman kapuk menjadi monumen hidup sebagai pengingat kejayaan Java kapok. Penelitian dan pengembangan jenis-jenis tanaman kapuk baru juga terus dikembangkan dengan optimisme suatu saat komoditas bernilai ekonomis tinggi ini akan kembali berjaya di Indonesia.

Menurut Sata Yoga, puluhan tahun silam hingga sekitar 10 tahun lalu, masyarakat Pati, Jepara, Juwana, dan kawasan lereng Gunung Muria akrab dengan pohon kapuk randu. Kapuk randu tidak hanya ditanam di kebun-kebun, tetapi juga di pinggiran jalan, bahkan di pematang sawah. Data dari Kebun Percobaan Mukti Harjo dan Ngemplak, pada pertengahan tahun 1900-an, komoditas kapuk randu Jawa termasuk dalam 11 besar komoditas perkebunan dan pertanian.

Kusno (36), pemilik usaha ”pengodolan” (pemisahan kapuk dari kulit) di Desa Karaban, Kecamatan Gabus, Pati, mengatakan, kapuk randu menjadi tanaman yang juga berfungsi sebagai tabungan warga karena bisa memberi pemasukan cukup besar. Tanaman kapuk bisa dipanen setahun sekali pada Juni dan diolah bertahap hingga Januari.

Agus Pramukajaya (47), mantan kepala produksi minyak dari kelenteng (biji kapuk) di Firma Tio Hien Twan, Juwana, menambahkan, karena banyaknya tanaman kapuk randu, hingga sekitar lima tahun lalu masih berdiri puluhan pabrik kapuk yang memisahkan isi kapuk dari biji dan kulitnya.

”Hasilnya adalah kapuk-kapuk halus dan bersih kualitas ekspor yang banyak diambil perusahaan Eropa dan Amerika untuk bahan pakaian. Namun, kini dengan makin banyaknya pertambahan penduduk, menunggu satu tahun sekali untuk panen terlalu lama. Akhirnya terjadi alih fungsi lahan menjadi lahan tanaman cepat panen, seperti singkong dan tebu. Pabrik pun kekurangan bahan baku sehingga tutup, termasuk perusahaan pembuatan minyak ini,” kata Agus Pramukajaya.

Baik Agus, Kusno, maupun Sata berharap dengan inovasi-inovasi yang dilakukan, kapuk randu Jawa nantinya akan kembali menjadi komoditas yang menjanjikan. (aci/gal/nel)

kompas, 23 agustus 2008

Read Full Post »

MENJELANG petang akhir pekan di Jalan Braga, Bandung, tiga gadis Belanda, Annelieke, Lisette, dan Esther dari Leiden, melepas lelah setelah berkeliling kota tua dengan minum kopi. Let’s have a cup of Java-mari minum secangkir Jawa-adalah undangan minum kopi yang populer bagi orang Eropa dan Amerika.

Minum kopi masih menjadi kebiasaan orang Eropa daratan dan Amerika, tidak ubahnya minum teh di sore hari bagi orang Inggris. “We do love coffee,” kata Annelieke singkat. Selama empat bulan berada di Jawa medio tahun 2007, kopi menjadi salah satu menu minuman harian mereka.

Itulah sepenggal riwayat tidak terpisahkan kopi jawa bagi orang kulit putih yang dulu menjadi primadona yang diangkut dari perkebunan dataran tinggi melalui Jalan Raya Pos untuk diekspor ke Eropa. Kopi Jawa adalah salah satu primadona seperti kina, tebu, teh, dan karet yang kini semakin surut pamornya karena sistem budidaya pertanian yang coba sana coba sini sehingga kehilangan fokus.

Sebagai contoh nyata adalah kerangka-kerangka beton bangunan bedeng buatan Belanda di tengah sawah dan kebun di sebuah perkampungan di Cadas Pangeran. Di masa silam, menurut warga, bedeng tersebut merupakan bagian dari kompleks perkebunan kopi yang tumbuh subur di sekitar wilayah tersebut.

Sungguh disayangkan, kopi jawa akhirnya kehilangan pamor karena salah urus dan kebijakan pemerintahan yang tidak tentu arah. Berbeda dengan Malaysia yang tetap melestarikan perkebunan karet dan lada sejak zaman Kolonial Inggris hingga pascakemerdekaan tahun 1957 tetap lestari sampai detik ini.

Padahal, menurut Widya Pratama, pemilik Aroma Kopi yang didirikan sejak tahun 1930, kopi terbaik di dunia adalah kopi jawa. “Curah hujan dan tingkat keasaman tanah di Jawa sangat pas untuk budidaya kopi. Jauh lebih baik dari kopi Amerika Latin ataupun Afrika. Untung sekarang sudah mulai ada kesadaran lagi untuk menanam kopi jawa. Dulu dataran tinggi Lembang merupakan surga perkebunan kopi yang kini tergusur perumahan. Sekarang di Pangalengan sudah mulai dirintis penanaman kopi jawa,” kata Widya.

Yuvlinda Susanta, Manager Komunikasi PT Sari Coffee Indonesia yang mengelola Starbucks, menjelaskan, pihaknya pernah mengenalkan kembali kopi jawa melalui gerai kopi Starbucks yang ada di seluruh dunia. “Secara kualitas memang sangat bagus. Tetapi dari sisi kuantitas selanjutnya tidak terpenuhi sehingga penjualan terhenti. Kita masih terus mencari upaya untuk mengangkat kembali citra kopi jawa,” kata Yuvlinda.

Berawal dari Tanam Paksa

Kejayaan kopi jawa berawal dari penerapan tanam paksa (cultuur stelsel) masa Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch berkuasa (1830-1840). Peter Boomgard dalam buku Anak Jajahan Belanda Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880 mencatat, tanam paksa mewajibkan petani mengalokasikan seperlima lahan untuk tanaman bagi pasar Eropa, yakni kopi, tebu, nila, teh, dan tembakau.

Sungguh indah Jawa tempo dulu. Betapa pertanian dan perkebunan dikelola secara terarah meski ada praktik korupsi serta pengisapan di kalangan elite penguasa Bumiputera. Alfred Russel Wallace—sang naturalis terkenal yang namanya diabadikan sebagai garis pemisah keragaman fauna di sebelah barat dan timur Nusantara—bahkan mengklaim Jawa sebagai The finest tropical island in the world atau pulau tropis terbaik di dunia. Wallace berkelana selama tiga setengah bulan di Jawa tahun 1861. Pulau tersubur, terpadat, dan terindah di seluruh tropis. Begitu banyak gunung berapi memberkahi Jawa dengan tanah yang subur, kenang Wallace.

Dalam Java a Travellers Anthology disebutkan, Wallace mengunjungi kebun kopi di Wonosalem di kaki Gunung Arjuna tidak jauh dari Surabaya. Wallace mengumpulkan spesimen burung merak di Wonosalem. Dalam jurnal yang diterbitkan tahun 1869 itu Wallace juga memuji-muji sistem pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang tetap mempertahankan keberadaan elite lokal di tingkat desa, para bupati, budidaya perkebunan kopi dan teh, keindahan alam, candi-candi Jawa yang lebih indah dari India dan peninggalan purbakala di Amerika Latin wilayah jajahan Inggris.

Eksotisme Jawa dikenal di dunia Barat, terutama lewat hasil buminya, yakni kopi. Widya Pratama menambahkan, kopi jawa dari jenis Arabica ataupun Robusta memiliki kualitas premium di dunia. 

Namun, biji kopi harus disimpan lima tahun untuk jenis Robusta dan delapan tahun bagi kopi Arabica untuk selanjutnya diproses demi mendapatkan rasa terbaik. Dari 100 kilogram biji kopi (berry) kering akan didapat sekitar 80 kilogram bubuk kopi yang bebas dari rasa masam. Memasak biji kopi jawa pun seharusnya menggunakan kayu bakar dari pohon karet dan disangray di dalam sebuah wadah berbentuk globe. “Sayang banyak pengusaha kopi jawa yang sekarang tidak mematuhi kaidah tersebut dan mengejar omzet belaka tanpa memedulikan mutu,” kata Widya.

Demi membangkitkan kembali kejayaan kopi jawa, Widya mulai merintis penanaman kembali kopi di sekitar Pangalengan bermitra dengan petani lokal. Kopi jawa terbaik hanya dipanen setahun sekali. Dia menyayangkan hilangnya perkebunan kopi di Lembang dan sekitar Cadas Pangeran. Kini, perlahan tetapi pasti, pamor kopi jawa mulai dibangkitkan oleh pelaku bisnis meski jauh dari perhatian pemerintah.

diambil dari kompas, 20 agustus 2008

Read Full Post »